Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Kenapa Aku Harus Berjuang Sementara Perubahan Tak Kunjug Datang

Kenapa Aku Harus Berjuang Sementara Perubahan Tak Kunjug Datang

Written By Iji Jaelani on Sabtu, 30 Januari 2016 | 08.00

Sebuah Catatan Kegelisahan 


aksi mahasiswa, catatan mahasiswa,iji jaelani
foto aksi massa di UIN Bandung 2011

Terkadang aku berpikir kenapa aku harus terus berjuang
Di saat para aparat korupsi semakin meajalela dan menjadi jadi, para mavia melakukan penyimpangan peraturan penuh konspirasi, para pemuda pasrah menatap masa depan penuh frustasi, para awak media mempelintir keadaan, para mahasiswa lupa diri, menghabiskan bangku sekolah dengan kesilapan penuh kenyamanan yang sesaat kemudian berubah menjadi tragedi pada jeruji pekerjaan dengan modal selembar ijazah tanpa kualitas yang jelas.

Bersama kawan kawan aku berteriak, perpekik panas dan kadang menguras waktu dan tenaga, masuk ke lorong-lorong jalanan, menyaksikan pedihnya anak funk dan tukang asongan, para pedagang kaki lima yang saban hari saban berdesak mencari penghidupan, tukang becak, tuna wisma,  para pengemis bertaburan.

Sesekali masuk merangsek ring ring kawat berduri, sesekali berkumpul bersama para intel kodim, para birokrat, merangsek tulisan di surat kabar dan koran memengaruhi kebijakan, bersama-sama mendampingi sawah  tergusur bersama bendungan, bersama iringan pasukan yang saban hari saban berganti, bergerus tenaga dengan materi hingga modal tersisa tinggal keberanian, nyawa, dan inspiasi.

Sementara tunas baru tumbuh, orang lama malah layu hilang berganti. Rezim beganti-ganti. Tapi perubahan tetap itu itu juga, berada pada lingkaran sistem akrobat yang sama. Para pedagang dan kaum miskin kota tetap saja bergeliat menghabiskan sisa umurnya dengan tawakal dan kerja seadanya. Para buruh pabrik saling sikut bekerja mengejar promosi, buruh negara bekerja melakukan program dalam rangka menghabiskan uang negara,  saling hujat kadang menjilat mengejar kursi istana.

Sementara para pengkhotbah, para aktivis, para pegiat hukum dan keailan dilanda dilema antara keyakinan menyuarakan keadilan, berhadapan dengan kenyataan lupa bahwa perut telah lama tak diisi selain rokok dan secangkir kopi. Menyuarakan keadilan kepada sesama, penghidupan sendiri tak terlaksana.

Sebagian konsisten meskipun diasingkan atau hidup pas-pasan. Sebagian main mata dengan para pembuat kebijakan. Sebagian bersuara lantang, sebagian lagi diam mencari aman, sebagian lagi malah melacur untuk sekedar mengisi sesuai nasi hari ini dan sebongkah kekecewaan atas petentangan dasar manusia yang tak terhindarkan sebagai sabab musabab masalah yang ada, semenjak perebutan sumber ekonomi, perebutan relasi politik, perebutan nilai-nilai pembenaran atas berbagai kepentingan.

Mungkin. Mungkin itulah kegelisahan yang layak diutarakan saat perubahan tak kunjung terang. Bahkan hingga satu titik ekstrim berkata, untuk apa terus dalam barisan saat semua kebutuhan tercukupi, untuk apa memekikkan nilai kemanusiaan yang kini berada dalam museum kata-kata usang, untuk apa terus melawan penindasan sementara yang lain mengunting dalam lipatan untuk memupuk kekayaan.

Tapi pertanyaan itu pula akan sebanding dengan kenyataan kenapa aku dilahirkan? Kenapa aku diberikan kesadaran? Dan kenapa aku diberikan bola mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, dan anggota badan untuk melakukan gerakan, dan nurani untuk merasakan bahwa itu semua adalah titipan, sekaligus penebus atas nikmat kenapa aku diberikan kebahagiaan melihat dunia penuh kemerdekaan. Saat terlahir dengan senyuman, mungkin saat itulah perjuangan atas hak-hak terrampas, kedilan tergilas, kemanusiaan yang kandas, menjadi penebus kenapa aku harus mati dengan senyuman sebagai martir yang dikirimkan Tuhan. 

Bandung, 11 Mei 2015

0 komentar:

Posting Komentar